October 12, 2011

Stories: Trace of The Sun

Please, Ya... Kamu mau kan jadi pacarku? Aku udah suka sama kamu sejak pertama kali aku ngeliat kamu. Kamu tuh manis, Ya.”
“Tapi aku nggak boleh dan gak mau pacaran. Aku masih pengen belajar. Kamu ngertiin aku sedikit lah. Bebanku tuh udah terlalu banyak, Ky. Aku nggak mau ngecewain orangtuaku. Aku ini anak pertama sekaligus satu-satunya cewek diantara saudara-saudara-ku.”
“Apa salahnya kalau kita coba dulu sih, Ya? Aku serius sama perasaanku ini. Aku mau kamu jadi pacarku, karena aku suka sama kamu.”
“Kenapa sih kamu itu ngotot banget, Ky? Aku tuh ngga’ ada rasa yang lebih sama kamu selain sebagai teman yang baik dan lucu. Itu aja, gak lebih sama sekali. Kamu pikirin aku sedikit deh, Razky...”
Bayangan tentang kejadian itu masih tetap saja mengggumpal di benakku, dan membuatku mendapatkan mimpi buruk hampir setiap malamnya. Sudah hampir seminggu sejak insiden penolakan Razky itu.
Memang bukan salahku kalau aku tidak bisa menerimanya, tapi tetap saja aku terus merasa aku memegang andil dalam kejadian mengerikan itu. Seandainya aku tidak mende-katinya untuk tahu lebih banyak tentang Alakai, mungkin itu tidak akan terjadi.
“Rhea, kamu kemana aja sih? Kakak nyariin kamu kemana-mana nih! Kakak kan mau curhat...” Omel sebuah suara yang sangat familiar ditelingaku, suara Kak Na. Dia adalah ka-kak kelasku, sekaligus salah satu teman dekatku saat ini. ia baik, lucu, dan juga periang walau sedikit cerewet.
“Kak Na kok tahu sih Rhea ada disini?” Tanyaku polos. Yah, wajar saja, karena hampir 99,9% anak SMA anti sama yang namanya masuk perpustakaan. Padahal menurutku, tidak ada yang salah dengan perpustakaan. Walau memang terkadang aku juga tidak meman-faatkan keberadaan perpustakaan itu sebagaimana mestinya. Contohnya saja sekarang, aku menggunakan perpustakaan sekolah untuk tidur siang saat jam istirahat.
“Kakak kan punya insting yang kuat! Hehhe... Kakak mau curhat nih sama kamu, Ya...” Ungkapnya. Lalu setelah itu, mulailah bergulir kalimat demi kalimat puitis yang super berlebihan dari mulut mungilnya. Cerita tentang orang yang disukainya. Orang yang juga merupakan adik kelasnya, orang yang disukainya sejak pertama kali bertemu. Orang yang sekelas denganku, orang yang kutolak mentah-mentah beberapa hari lalu.
Kak Na bertemu dengan Razky di acara pembukaan ulang tahun sekolah dua hari lalu. Sejak saat itu, Kak Na tak henti-hentinya bertanya soal Razky, apapun tentangnya. Razky juga begitu, terkadang ia menanyaiku perihal hubungan kami. Tentu saja aku menjawab hanya sekedar kakak dan adik sekelas serta teman di klub sastra.
Entah mengapa, aku masih belum yakin dengan perasaan Razky pada Kak Na. Bukan karena aku cemburu atau apa, tapi kurasa ada sesuatu yang janggal dalam kedekatan Razky dan Kak Na. Seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan Razky dan itu adalah sesuatu yang buruk.
“Iya deh, nanti aku tanya kapan dia bakal nembak kakak...” Sahutku akhirnya setelah menatap wajah penuh pinta Kak Na. Dia memang paling pintar kalau urusan memohon dan memelas. Siapapun yang berurusan dengannya dalam hal itu, pasti akan langsung luluh saat itu juga.
“Tapi jangan sampai ketahuan kalau kakak yang minta kamu nanya... Jangan sampai dia tahu kalau kita sering ketemu dan kakak sering curhat sama kamu, ya?” Pintanya lagi. Kali ini aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum layu, karena rasa kantukku mulai meng-hinggap lagi. Hanya beberapa saat setelah Kak Na keluar, langsung kusandarkan kepalaku di meja, dan tertidur lelap.
=>^o^<=
Awalnya aku tak tahu menahu
Rasa apa yang mengginggap di hati dan benakku
Dadaku berdegup kencang saat kumenatapnya
Darahku berdesir kencang pabila kudengar suaranya
Tak sekalipun bayang dan tingkahnya luput dariku
Kini kutahu rasa apa itu
Itu suka, itu cinta
Cinta pertama pada pandang pertama
Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk kugambarkan saat ini dan tiap kali aku masuk kelas dan mendapati Alakai ada di dalamnya. Lain halnya bila ia tidak ada disana, biasanya aku akan langsung bergeming dalam diam. Napasku sesak dan rasanya air mataku akan jatuh berguliran bila aku tidak melihatnya.
Aku memang sedikit merasa terganggu dengan sikap Razky yang jadi aneh dan berubah drastis belakangan ini. Tapi hebatnya, aku mendapat keuntungan yang luar biasa akibat kejadian itu. Aku jadi lebih dekat dengan Alakai, dan bisa lebih akrab disaat meng-obrol dengannya, tanpa ada rasa canggung sedikitpun. Sangat berbeda jauh dengan ketika Razky masih dekat denganku, seakan semua orang dikelas mengatur jarak denganku.
Rasanya sangat melegakan, seakan-akan aku bisa kembali di masa-masa dulu saat aku masih berteman dengannya. Yah, kejadian masa lalu yang sudah sangat lama, disaat adik pertamaku belum meninggal dan aku masih bertetangga dengannya. Jarak yang sudah lama membentang itu seakan langsung runtuh seketika saat Razky menghindariku. Astaga, kenapa aku jadi mensyukuri sesuatu yang menjadi beban bagi orang lain?
“Rhea, nanti pulangnya aku antar ya? Sekalian aku mau ngantar kue titipan dari mamaku buat mamamu.” Sahutnya saat melihatku masuk ke kelas dengan langkah gontai. Maklum saja, namanya juga orang baru bangun tidur. Aku hanya menoleh sedikit padanya sambil tersenyum mengiyakan. Yah, jaim sedikitlah...
“Heh, Ya! Aku mau nanya sesuatu sama kamu, bisa nggak?” ucap Razky tiba-tiba setengah teriak. Jangankan teman-teman sekelas, aku saja kaget. Apa yang terjadi padanya sehingga tiba-tiba ia memanggilku setelah insiden beberapa hari lalu itu? Satu kelas saja tahu bahwa ia mundur dan tidak memperdulikanku lagi! Ada apa ini?
“Bisa, nggak? Penting banget nih!” tanyanya lagi. Dengan ekspresi yang masih sama bingung dan kagetnya, aku duduk di bangkuku dan menatap ke arahnya, menyuruhnya du-duk. Dia sempat memutar bola matanya sesaat, seakan protes, tapi akhirnya ia duduk juga.
“Apa yang kau tahu tentang Nania anak kelas XI itu?” tanyanya blak-blakan. Jantung-ku hampir copot mendengar pertanyaannya. Bukan karena sakit hati karena ia menanyakan tentang calon pacarnya pada orang yang hampir menjadi pacarnya –tentu saja tidak! – Aku justru sangat senang karena aku tidak perlu repot-repot menyusun rencana cara menanya-kannya, karena ia sendiri yang mendatangiku. Tentu saja anak sekelas tidak berpikir begitu. Ahh sudahlah, memangnya apa urusannya?
“Gak banyak, karena kami memang nggak terlalu dekat. Yang aku tahu, dia itu sekarang single, mantan pacarnya itu gak seagama makanya diputusin, dan tipe yang dia suka itu cowok yang baik, lucu, perhatian, menarik, dan hitam-hitam manis. Yah, kayak kamu ini lah.” Jawabku gak kalah blak-blakannya, sampai-sampai aku merasa anak sekelas yang se-dang menatapi kami sedari tadi hampir kehilangan matanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berdiri dan keluar kelas, entah kemana. Beberapa saat setelah bel masuk berbunyi ia baru kembali dengan ekspresi wajah yang tak bisa kugam-barkan. Sekilas memang ia terlihat bahagia, walau tidak bisa kubohongi perasaanku bahwa ada sesuatu yang disembunyikannya. Sesuatu yang aneh dan janggal.
=>^o^<=

Hari ini aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam sekolah dengan lemas. Wajar saja, semalaman suntuk aku menerima berpuluh-puluh misscall dari Kak Na, yang entah kenapa, setiap kali akan kuangkat selalu saja terputus. Sayang aku tidak ada pulsa jadi tidak bisa bertanya padanya. Dalam hati aku berjanji akan mengomelinya begitu bertemu nanti.
Tiba-tiba ada sepasang tangan menarikku begitu aku akan memasuki gerbang sekolah. Aku sudah hampir berteriak histeris, kalau saja aku tidak mengenali pemilik tangan itu. Yah, siapa lagi, tidak lain dan tidak bukan...
“Kak Na?!” Ucapku penuh kebingungan. Lalu aku teringat dengan janjiku semalam. Sayangnya, baru saja aku akan mengumbar segala pertanyaan yang bersarang dikepalaku, ia sudah lebih dahulu membocorkannya.
“Kakak udah jadian sama Razky, Ya! Aargh, senangnya! Semalam dia nembak kakak, habis ngantar kakak pulang dari latihan taekwondo! Astaga, Ya, kakak gak bisa tidur sema-laman sangking senangnya!!!” Cerososnya, lalu disusul dengan curhatan lainnya tentang ba-gaimana Razky menyatakan perasaannya, bagaimana ekspresinya, dan sebagainya.
Aku memaksa mata dan telingaku untuk tetap bekerja, walau tenaganya sudah men-capai gawat darurat. Setelah aku sampai di pintu kelasku –tentu saja masih dengan Kak Na bercerocos panjang lebar ditelingaku– aku langsung menghambur masuk dan bersandar tanpa tenaga di bangkuku.
Dan Kak Na, sudah bisa ditebak, ia menuju ke meja pacar barunya, dengan senyum super manis dan seringai lebar seakan ia adalah orang paling bahagia sedunia. Anehnya, Razky hanya memasang ekspresi datar, entah kenapa. Seharusnya kan ia sama senangnya dengan Kak Na, karena sudah mendapatkan pacar yang diinginkannya. Ahh, terserahlah, itu bukan masalahku.
Masalahku sekarang adalah, baterai hpku drop habis dan aku tidak akan bisa tidur tanpa musik! Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang, kepalaku sudah berbintang-bintang sangking pusingnya!!
Tiba-tiba Alakai masuk dengan langkah santai seperti biasa, langsung duduk di bang-kunya yang berada tepat di belakang Razky. Tanpa pikir panjang, aku berlari dan duduk di samping bangkunya, lalu tersenyum semanis yang kubisa dengan tampang kusut dan mata ce-kung ini.
Jagi-ya!” Sahutku seriang mungkin, sambil memasang tampang ceria. Sambil sebe-lah tanganku menengadah dan sebelah lagi menopang wajahku yang serasa sudah hampir jatuh itu, aku memandang polos padanya. “Alakai, pinjam hp dong... Sekalian headset deh kalau bisa. Hpku mati, gak ada baterainya. Please... Aku mau tidur eh, pusing kepalaku!” Cerocosku, lebih mirip menggerutu.
“Astaga, kamu ini, Rhea... Lupa lagi men-charge hpmu, ya?” Protesnya, tapi tetap saja mengeluarkan hp dan headset dari tasnya. Aku yang memang sudah sangat tak berte-naga, hanya bisa menyengir tanpa tujuan sambil memasang peralatan pengantar tidur itu, lalu mengotak-atik koleksi lagunya.
Tak butuh waktu lama setelah tagu-lagu itu diputar, aku langsung tertidur pulas. Aku harus memanfaatkan anugerah yang diberikan Tuhan ini sebaik mungkin, kan? Hari ini jam pertama dan kedua di kelas kami kosong karena rapat guru. Dengan santainya aku tidur di sebelah bangku Alakai, dan mengusir teman sebangkunya untuk duduk di bangkuku.
Tanpa kusadari, begitu banyak mata memandang ke arahku yang tertidur pulas dan Alakai yang memakai sebelah headsetnya sambil menggambar entah apa di bukunya. Salah satunya adalah mata coklat tua milik Razky, seperti kata temanku, walau mereka sendiri tidak bisa menjelaskan alasannya padaku mengapa ia menatapku.
=>^o^<=
Hari aku pulang sedikit terlambat, karena terlalu sibuk mengerjakan berbagai tugas sekolah di rumah Alakai. Sudah kubilang, aku seperti kejatuhan durian runtuh. Sejak insiden aku menolak Razky secara blak-blakan itu, aku jadi semakin dekat dengan Alakai. Bahkan guru pun seperti berpihak padaku, karena selalu memasukkan kami berdua dalam kelompok yang sama.
“Kamu nggak apa, Rhea? Kok tumben wajah Jagi-ya yang biasanya selalu riang ini pucat?” Tanyanya polos saat berhenti di depan rumahku. Wajahku yang pucat seketika lang-sung memerah sangking kagetnya mendengar perkataannya itu.
Jagi-ya? Barusan kamu manggil aku Jagi-ya, Ka?” tanyaku memastikan. Astaga, apa ia tahu arti sebenarnya Jagi-ya yang sering kukatakan itu? Astaga, aku tak bisa mempercayai telingaku! Dia baru saja memanggilku “sayang” dalam bahasa Korea!!!
“Kan kamu sendiri yang sering ngomong Jagi-ya... Yah aku manggil kamu kayak gitu, kebiasaan sih dengar kamu ngomong Jagi-ya.” Jawabnya, masih saja sama santainya. Oke, kesimpulanku dia nggak tahu apa yang dia katakan. Tak apalah, yang penting dia me-manggilku “sayang”, sama seperti caraku memanggilnya. Jantungku serasa mau copot!
=>^o^<=
Hari ini adalah hari yang sangat penting bagiku dan juga anak-anak Marching Band lainnya. Hari ini adalah pertama kalinya junior tampil tanpa senior, dihadapan begitu banyak orang, di acara yang terbuka untuk umum. HUT kota! Aah, tegang sekali rasanya...
Jagi-ya, santai sedikit lah.. Kamu kelihatan tegang banget lho! Biasa aja, kali...” Pro-tes Alakai dengan nada menghibur. Kesal memang, tapi melegakan juga mendengar suaranya disaat-saat menegangkan begini.
“Kamu sih enak, Ka! Udah pernah tampil... Aku kan baru pertama tampil di MB, dan acara ini tuh termasuk event besar. Malu banget dong kalau sampai salah...”
“Kalau begitu jangan sampai salah. Jagi-ya?” hiburnya. Seketika semangatku mengumpul kembali, membuat keberanianku memuncak. Aku menyahut dengan riang sambil tertawa lepas. Ya, aku memang tidak salah pilih orang yang aku suka. Ia adalah penyemangat hidupku, sejak dulu, sekarang, dan sampai nanti. Wah, tidak kusangka seleraku sehebat itu.
=>^o^<=
Matahari sudah semakin tinggi naik ke puncaknya. Sinarnya yang terik mulai serasa menyerang kepalaku. Asap-asap kendaraan dari orang-orang yang menonton event ini mulai membuat sesak dadaku. Sambil terus memukul senar drumku sesuai irama, aku berusaha me-masukkan sebanyak mungkin oksigen yang bisa kudapat ke dalam dadaku.
Rasa sakit itu semakin terasa, tapi untung masih bisa kutahan lebih lama. Tepat begitu kami memasuki finish, aku ambruk dengan darah segar mengucur dari hidungku. Sekujur tubuhku dingin, dengan wajah yang pucat, sukses membuat sebagian besar orang yang ada disana berlarian ke arahku.
Alakai berlari paling depan dan tiba di sisiku pertama kali. Pandanganku sudah mulai kabur, tapi aku masih bisa melihat samar-samar orang yang berlari dibelakangnya. Kurasa itu Kak Na. Ehh, tunggu dulu. Kak Na berada di belakang orang itu. Yang berada tepat di bela-kang Alakai adalah Razky. Ya, Razky. Heh? Siapa tadi?
=>^o^<=
Jagi-ya? Kamu udah bangun? Syukurlah... Aku hampir mati rasanya waktu ngeliat kamu pingsan berlumuran darah begitu.. Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku, Ya?” Gumam Alakai pelan disampingku sambil mengusap-usap kepalaku. Aku kurang yakin di mana aku berada sekarang. Tapi dilihat dari keadaannya yang serba putih, kurasa ini rumah sakit.
“Aku mau keluar... Yang lain mana? Sudah pulang? Berapa lama aku pingsan, Jagi-ya? Kak Na mana? Tadi dia kesini?” Tanyaku, begitu penasaran. Aku memang tidak terlalu mengingat kejadian tadi. Tapi aku ingat satu hal dengan pasti. Tadi Razky lari ke arahku dan Alakai, sementara Kak Na menyusul dibelakangnya.
“Lebih baik sekarang kamu istirahat dulu, Ya... Kak Na baru aja pulang. Aku keluar sebentar, ya? Aku mau nyari cemilan. Malam ini biar aku yang jagain kamu. Mama sama Ayah kamu sudah pulang tadi.” Aku hanya bisa mengangguk pelan mendengar perintah dari Alakai. Seluruh tubuhku terasa begitu lemah. Tapi aku tak bisa berhenti berpikir tentang Kak Na dan Razky. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi, tapi aku tak tahu pasti apa itu.
Begitu Alakai keluar dari kamar, aku bergerak pelan dan meraih ponselku, lalu mencari nama Kak Na di kontaknya. Segera kutelepon Kak Na, ingin memastikan tak ada hal buruk yang terjadi padanya.
“Assalamu’allaikum. Kak Na?” tanyaku ke seberang sana begitu telepon itu ter-sambung. Tak ada jawaban, atau suara apapun dari seberang. Aku memeriksa layar ponselku, siapa tahu belum tersambung. Tapi ternyata tidak. Aku kembali mengulangi pertanyaan yang sama beberapa kali, tapi tetap tak ada jawaban. Akhirnya aku menyerah dan menutup telepon itu.
Tapi usahaku tak putus sampai disitu saja. Aku mengirim pesan singkat ke nomor Kak Na, berharap akan dibaca dan segera dibalas, karena aku benar-benar ingin tahu kabarnya, entah mengapa. Rasanya aneh saja, perasaanku tiba-tiba tak menentu dan pikiranku tak bisa lepas dari bayangan Kak Na dan Razky.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Awalnya aku berpikir bahwa itu adalah Alakai, tapi ternyata salah. Karena Alakai tidak pernah mengetuk pintu saat masuk. Yang berjalan per-lahan ke dekat ranjangku sekarang justru Razky, yang dengan alasan yang masih belum ku-ketahui, berada disini, pada jam selarut ini.
“Kamu udah sadar, Ya? Aku senang kamu nggak apa-apa. Baru kali ini aku melihat kamu mimisan, dan jujur aku kaget banget. Kamu nggak apa-apa, kan?” Tanyanya berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba berubah jadi dingin. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Pera-saanku sudah bercampuk-aduk, jadi aku langsung bertanya secara blak-blakan.
“Kak Na mana? Apa yang terjadi anatara kamu dengan Kak Na?” Tanyaku. Sesaat kulihat raut mukanya berubah jadi tak bisa kujelaskan. Tanpa kuduga, dia justru duduk di samping ranjangku dan menghela napas panjang. Sepertinya dia akan menjelaskan sesuatu yang rumit.
“Aku udah putus sama Nania, Ya. Aku baru sadar ternyata gak ada gunanya aku lari dari perasaanku yang sebenarnya dan nutupin itu dengan macarin Nania. Perasaanku masih gak berubah dari dulu. Aku tetap suka sama kamu, walau kamu udah nolak aku. Hatiku mekar tiap kali kamu tertawa atau tersenyum. Tapi aku terluka, Ya, waktu aku ngeliat kamu dekat sama Alakai. Makanya aku maksain hubungan itu tetap jalan sama Nania.”
“Kamu mempermainkan Kak Na? Gara-gara aku nolak kamu?”
“Aku nggak bisa ngebohongin perasaanku lebih lama lagi, Ya. Aku nggak bisa terus-terusan menderita ngeliat kamu akrab sama Alakai, sementara aku harus ngejalanin hubungan palsu itu dengan Nania. Aku sama sekali nggak cinta sama dia. Yang aku suka itu kamu.”
Berhubung posisiku saat itu sedang duduk, langsung saja kuangkat sedikit badanku dan menamparnya sekuat tenaga. Astaga, aku benar-benar membenci orang ini! Bagaimana mungkin dia tega memepermainkan orang yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, ha-nya karena aku dekat dengan orang lain yang memang kusuka?!
Dia bergeming di tempatnya, tanpa ekspresi sama sekali. Wajahnya datar, tak marah, tak juga sedih. Seakan-akan ia ingin menunjukkan rasa bersalahnya, walau itu jelas tidak akan bisa membuatku memaafkan perbuatannya. Aku berusaha mengumpulkan tenaga se-banyak yang aku bisa. Aku tidak sanggup lagi menghadapinya.
“PERGI!!!! AKU BENCI SAMA KAMU!!! AKU NGGAK MAU LAGI MELIHAT KAMU!!! PERGI, AKU BILANG!!!” Amukku dengan segenap jiwa raga. Kurasa ia menyadarinya, dan beranjak perlahan ke arah pintu. Begitu sampai di depan pintu, ia masih sempat menoleh ke arahku, yang tetap keukeuh takkan mengubah pendapatku tentangnya.
Begitu ia menutup pintu, aku menangis, menjerit, dan meraung-raung sangking sedihnya. Kini aku sudah hampir kehilangan semuanya. Aku tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat.
Sepanjang malam aku terus menangis sambil berusaha mengungkapkan segala perasaanku kepada Alakai. Beratus-ratus kali aku menelpon dan mengirim berbagai pesan untuk Kak Na, tetap saja tidak ada respon. Ia membenciku, sama seperti aku membenci Razky.
Mataku sudah hampir terpejam dan sangat bengkak sangking lamanya aku menangis, ketika Alakai dengan pelan membisikkan sesuatu ditelingaku. Kalimat-kalimat itu penuh du-kungan, dan sangat membantu menyemangatiku. Hatiku mungkin sakit, tapi kalimat itu akan bisa sedikit menyemangatiku.
“Kamu harus kuat, Ya. Mungkin hari ini memang hari yang berat, tapi aku tahu kema-rin adalah hari yang menyenangkan, dan aku akan menjadi orang pertama yang memastikan bahwa besok kamu akan jauh lebih bahagia. Jagi-ya...”
Aku mulai tersenyum, walau samar-samar. Bahkan sampai aku tertidur lelap, ia terus-menerus menggumamkan berbagai kata yang menentramkan hatiku. Ya, aku sudah mulai ya-kin sekarang. Semua yang dikatakannya memang ada benarnya. Aku memang harus kuat dan tabah menghadapi ini semua.
Roda kehidupan akan terus berputar, apapun yang terjadi. Mungkin kemarin aku se-dang berada di atas, di puncak kebahagiaan. Dan hari ini adalah saatnya aku terjatuh ke bawah, dasar dari roda itu. Tapi tidak akan ada yang bisa menjamin bahwa aku akan selama-nya berada disini, asal aku mau berusaha.
Apapun yang terjadi, sesedih apapun aku, sekacau apapun kehidupanku sekarang, pasti masih ada jalan untuk memperbaikinya. Aku harus bisa membuat hari esok yang jauh lebih baik, walau aku tidak bisa membaca atau menentukan takdir itu. Aku harus tetap baha-gia, karena Alakai akan selalu ada disisiku, setia membantuku dan menjagaku. Aku yakin itu, selamanya, selamanya...

0 comments:

Post a Comment